Sabtu, 24 November 2012

TRIAS POLITIKA


TRIAS POLITIKA



Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.

Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.

Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan.

Sejarah Trias Politika

Pada masa lalu, bumi dihuni masyrakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.

Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya.

Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini.


Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.

Untuk keperluan mata kuliah ini, cukup akan diberikan gambaran mengenai 2 pemikiran intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep Trias Politika. Pertama adalah John Locke yang berasal dari Inggris, sementara yang kedua adalah Montesquieu, dari Perancis.

John Locke (1632-1704)

Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja ini ?

Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Kerap kali raja secara sewenang-wenang melakuka akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, kerap kali kalangan bangsawan mengadakan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.

Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.

Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.

Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.

Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris.

Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.

Montesquieu (1689-1755)

Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.

Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.

Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak diacu oleh negara-negara di dunia saat ini adalah Konsep yang berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep Trias Politika ini terus mengalami persaingan dengan konsep-konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).

Fungsi-fungsi Kekuasaan Legislatif

Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik.

Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan legislatif sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work, Supervision and Critism Government, Education, dan Representation.

Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.

Constituency Work adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indnesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan. Berat bukan ?

Supervision and Criticism Government, berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.

Education, adalah fungsi DPR untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab, hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi, surat kabar, ataupun internet.

Representation, merupakan fungsi dari anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih. Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur gedung itu. Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini masih banyak yang kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari masih banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di aneka isu politik.

Fungsi-fungsi Kekuasaan Eksekutif

Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.

Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.

Head of Government, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.

Party Chief berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu. Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku kaku demikian. Di masa pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan hal tersebut.

Gus Dur berasal dari partai yang hanya memenangkan 9% suara di Pemilu 1999, tetapi ia menjadi presiden. Selain itu, di sistem pemerintahan parlementer, terdapat hubungan yang sangat kuat antara eksekutif dan legislatif oleh sebab seorang eksekutif dipilih dari komposisi hasil suara partai dalam pemilu. Di sistem presidensil, pemilu untuk memilih anggota dewan dan untuk memilih presiden terpisah.

Commander in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah terjadi di era Gus Dur, di mana banyak instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak digubris pihak yang terakhir, terutama di masa kerusuhan sektarian (agama) yang banyak terjadi di masa pemerintahannya.

Chief Diplomat, merupakan fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari negara lain.

Dispensen Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana menteri.

Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.

Fungsi-fungsi Kekuasaan Yudikatif

Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).

Criminal Law, penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.

Constitution Law, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.

Administrative Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.

International Law, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 



Jumat, 09 November 2012

Pemikiran Herbert Spencer Tentang Evolusi Sosial Najip Hendra SP


November 18, 2011 by ahmadnajip
Najip Hendra SP
Herbert Spencer
Teori Evolusi boleh dibilang melekat pada sosok Charles Darwin. Bukunya Origin of Species dianggap sebagai peletak dasar teori evolusi dalam ilmu pengetahuan. Lalu, di manakah posisi Herbert Spencer? Faktanya, Spencer lebih awal memunculkan gagasan teori evolusi ketimbang Darwin. Spencer mengenalkan konsep evolusi sosial dalam bukunya Social Statics pada 1850, sembilan tahun sebelum Darwin menulis Origin of Species (1859). Spencer (1897) menguraikan teori evolusi secara mendalam dalam The Principles of Sociology yang terbit 1897 di New York. Dalam buku ini Spencer menyebut kata “evolusi” dalam beragam variannya sebanyak 249 kali, termasuk kutipan langsung dan daftar isi.
A.    Sekilas tentang Herbert Spencer
Spencer lahir sebagai anak tunggal seorang guru sekolah di kota kecil Derbyshire, Midland, Inggris pada 27 April 1820 dan meninggal pada 8 Desember 1903. Dia sebenarnya tidak terlahir tunggal, melainkan sembilan bersaudara. Cuma saja, dia menjadi satu-satunya anak pasangan William dan Haerriet Spencer yang bertahan hidup.  Karena alasan kesehatan, Spencer kecil menjalani pendidikan di rumah. Dia tidak belajar seni dan humaniora, melainkan teknik dan bidang utilitarian (Ritzer dan Goodman, 2007).
Potret keluarga Spencer yang bergelut melawan penyakit menjadi semacam mozaik dari kehidupan Inggris zaman Victorian abad ke-19. Inggris yang memasuki Revolusi Industri terperosok ke dalam problem negara industri yang sangat suram sekaligus mengkhawatirkan. Kala itu, bangunan pabrik biasanya menyatu dengan kawasan pemukiman. Bangunannya tua dan tidak terawat, ventilasi minim, kotor, penuh jelaga hitam, sempit, dan sumpek. Selain mengepung kota dengan asap hitam, limbah pabrik juga menimbulkan pencemaran, sanitasi yang tidak terawat, jalanan yang buruk, dan tentu saja polusi.
Dalam usia relatif muda, 17 tahun, Spencer muda terjun ke dunia kerja sebagai insinyur sipil di sebuah perusahaan kereta api London dan Birmingham. Karirnya terbilang bagus hingga akhirnya dia dipercaya menjadi wakil kepala bagian mesin di perusahaan tersebut. Selama periode ini Spencer melanjutkan studi atas biaya sendiri.
Spencer memiliki kemampuan sangat baik dalam mekanika. Kemampuan itulah yang memengaruhi imajinasinya dalam ilmu pengetahuan, terutama tentang biologi, masyarakat, dan ilmu sosial. Pada saat menjadi insinyur inilah Spencer mulai belajar menulis artikel secara serius. Tulisan pertamanya di bidang sosial dengan judul On the Proper Sphere of Government pada 1842 dimuat di majalah Non Conformist. Enam tahun kemudian, 1848, tulisan yang sama dimuat The Economist, majalah ekonomi terkemuka yang berbasis di London.
Tulisan Spencer mendapat sambutan hangat penggemarnya sehingga mereka rela membayar lebih dulu tulisan-tulisan Spencer sebelum tulisan itu diterbitkan. Kondisi inilah yang mendorong Spencer untuk berpikir alih profesi menjadi penulis ilmu pengetahuan bidang pengetahuan sosial, khususnya sosiologi. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, saat usianya menginjak 28 tahun dia pindah menjadi wakil editor majalah The Economist, berita mingguan yang berbasis di London. Majalah ini merupakan oposisi pemerintah dan pendukung perdagangan bebas. Melalui majalah ini Spencer banyak bertemu dengan orang terkenal pada saat itu, seperti Thomas Huxley dan George Eliot.
Saat usianya memasuki 30 tahun, Spencer telah mampu menerbitkan buku pertamanya yang berjudul Social Statics. Tiga tahun kemudian, pamannya (Thomas Spencer) meninggal dunia dan mewariskan harta cukup banyak kepada Spencer. Berbekal warisan itulah Spencer berani memutuskan untuk berhenti bekerja dan mencurahkan seluruh kegiatannya untuk menulis. Keberhasilan Spencer menulis banyak buku karena selain gemar membaca, Spencer adalah kolektor yang tekun mengumpulkan fakta-fakta mengenai masyarakat di manapun di dunia ini, seorang yang rajin mengumpulkan informasi, membuat sistematika atau klasifikasi data. Spencer memang sejak kecil mempunyai hasrat dan keinginan yang besar untuk menambah dan mengumpulkan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dan memahami keseluruhannya.
Spencer juga mengembangkan sistem filsafat dengan aspek-aspek utiliter dan evolusioner. Spencer membangun utiliterisme Jeremy Bentham yang memelopori aliran gerakan reformasi. Jeremy Bentham berpendapat bahwa logika ilmiah harus didasarkan pada pengetahuan yang cukup mengenai kondisi kehidupan sosial yang aktual. Konsep ini mendahului konsep-konsep Charles Darwin (Sukanto: 1982: 36).
Spencer adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep Survival of the fittest atau yang kuatlah yang akan menang dalam bukunya Social Statics yang terbit pada tahun 1850. Konsep ini untuk menggambarkan kekuatan fundamental ilmu biologi yang menjadi dasar perkembangan evolusioner. Konsepsi ini dipengaruhi karya Thomas R. Malthus mengenai tekanan kependudukan,  An Essay on the Principle of Population (1798). sinya  konsepnya antara lain adalah perjuangan untuk dapat bertahan bagi suatu masyarakat atau bagi beberapa masyarakat agar menghasilkan keseimbangan karena perubahan yang terjadi dari keadaan yang homogen yang tidak terpadu menjadi heterogen yang terpadu.
Sembilan tahun kemudian teori evolusioner karya Darwin terbit. Spencer dan Darwin melihat adanya persamaan antara evolusi organisme dengan evolusi sosial. Evolusi sosial adalah serangkaian perubahan sosial dalam masyarakat yang berlangsung dalam waktu lama yang berawal  dari kelompok suku atau masyarakat yang masih sederhana dan homogen kemudian secara bertahap menjadi kelompok suku atau masyarakat yang lebih maju dan akhirnya menjadi masyarakat modern yang kompleks (Horton dan Hunt, 1989:208).
B.     Karya-karya Herbert Spencer
The Principles of Sociology, salah satu karya utama Spencer.
Selama hidupnya, Spencer menghasilkan sejumlah karya besar. Sebagian besar pemikiran Spencer tentang sosiologi ditulis dalam 10 buku (dua jilid Biologi, dua jilid psikologi, tiga jilid Sosiologi, dan dua jilid tentang moralitas) yang kemudian dikemas menjadi Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-1896). Paket ini memuat seluruh teori evolusi universal, meliputi evolusi bilogi, psikologi, sosial, dan etika. Karya-karya tersebut mengukuhkan dirinya sebagai penganut filsafat sintesis, yakni ilmu filsafat yang menggabungkan beberapa ilmu pengetahuan menjadi satu (Soekanto, 1990).
Dari sederet karya tersebut, buku Principles of Sociology merupakan karya monumental Spencer yang mendorong perkembangan Sosiologi sebagai ilmu populer di masyarakat, terutama di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat. Meski begitu, Spencer kurang mendapat sambutan di negeri sendiri.
Berikut sejumlah karya utama Spencer semaca hidupnya:
  1. Social Statics (1850).
  2. Principles of Psychology (1855).
  3. Principles of Biology (1861 dan 1864).
  4. First Principles (1862).
  5. The Study of Sociology (1873).
  6. Descriptive Sociology (1874).
  7. The Principles of Sociology (1877).
  8. Principles of Ethics (1883).
  9. Esai-esai:
    -          Education (1861)
    -          The Study of Sociology (1873)
    -          The Nature and Reality of Religion (1885)
    -          Various and Fragments (1897)
    -          Facts and Comments (1902)
Bila dicermati, karya-karya Spencer senantiasa mendasarkan konsepsi bahwa seluruh alam, baik yang berwujud organis, nonorganis, maupun superorganis berevolusi karena dorongan kekuatan mutlak yang kemudian disebutnya sebagai evolusi universal (Koentjaraningrat, 1987:34). Gambaran menyeluruh tentang evolusi universal umat manusia menunjukkan bahwa pada garis besarnya Spencer melihat perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari suatu bangsa di dunia sudah melalui tingkatan evolusi yang sama.
C.    Spencer tentang Sosiologi
Bagi Spencer, Sosiologi merupakan suatu studi evolusi dalam bentuk yang paling kompleks. Dia menguraikan materi sosiologi secara rinci dan sistematis dalam tiga jilidThe Prinsiples of Sociology. Menurutnya, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan mengenai hakikat manusia secara inkorporatif dengan pendekatan makro yang berpusat pada manusia. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari segala gejala yang muncul dari perilaku manusia secara bersama-sama.
Spencer dalam Soekanto (1990: 444-447), objek pokok sosiologi adalah keluarga, politik, agama, pengendalian sosial, dan industri. Tambahannya antara lain asosiasi, masyarakat setempat, pembagian kerja, lapisan sosial, sosiologi pengetahuan dan ilmu pengetahuan, serta penelitian terhadap kesenian dan keindahan. Dia mengingatkan bahwa sosiologi juga harus menyoroti hubungan timbal balik antara unsur-unsur yang ada dalam masyarakat yang tetap dan harmonis, serta merupakan suatu integrasi, seperti pengaruh norma-norma tersebut di atas terhadap kehidupan keluarga serta hubungan antara lembaga politik dengan lembaga keagamaan. Oleh karena itu, Spencer berpendapat bahwa sosiologi adalah psikologi yang dipraktikkan dan mendapat wujud antara lain etika dan peradaban yang terdapat dalam masyarakat.
Haryanto (tt: 14) menyimpulkan, pandangan-pandangan Spencer tentang sosiologi mendapat pengaruh biologi dalam arti luas. Pertumbuhan suatu disiplin ilmu sosiologi dan biologi telah menarik perhatian baru terhadap faktor-faktor biologis di dalam perilaku manusia. Oleh para pendukungnya, sosiologi didefinisikan sebagai “suatu studi sistematik mengenai dasar-dasar biologis dari perilaku manusia”. Interaksi  biologi dan kebudayaan mempengaruhi perilaku manusia yang dimulai dengan perkembangan masyarakat manusia. Banyak ahli masyarakat abad pertengahan menganalogikan manusia dengan organisme.
Spencer menekankan pentingnya pendekatan bagi seluruh gejala yang ada serta meningkatkan pendekatan bagi pengkajian kehidupan sosial. Berbeda dengan anggapan masyarakat selama ini tentang semua gejala yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan yang selalu dihubungkan dengan metafisik dan agama, Spencer memperkenalkan pendekatan baru yaitu pendekatan empiris dengan data konkret yang memisahkan antara agama dan metafisik dengan ilmu pengetahuan yang dapat dibuktikan oleh siapa saja dan kapan saja dengan hasil yang sama. Spencer adalah orang yang pertama kali menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkret.
Pendekatan empiris ala Spencer mendapat banyak tantangan pemuka agama. Menyadari hal itu, Spencer kemudian melakukan rekonsiliasi antara ilmu pengetahuan dengan agama. Rekonsiliasi ini dimuat dalam bukunya yang terbit kemudian, yaitu yang berjudul First Prinsciple. Di sana Spencer membedakan fenomena ke dalam dua kelompok, yaitu fenomena atau kejadian yang dapat diketahui dan fenomena atau kejadian yang tidak dapat diketahui. Fenomena dan hal-hal yang dapat diketahui dianggap merupakan pengalaman nyata dan mudah diterima oleh akal manusia, sedang fenomena yang tidak dapat diketahui adalah hal-hal dan kejadian di luar ilmu pengetahuan dan konsepsi manusia (Siahaan, 1986:119-133).
Spencer terus berusaha mencari sumber-sumber asli dan menganalisis perkembangan aneka ragam ide yang tersirat di dalamnya. Dia memulai dengan tiga garis besar teorinya yang disebut dengan tiga kebenaran universal, yakni: 1) Materi yang tidak dapat dirusak; 2) Kesinambungan gerak; dan 3) Tenaga dan kekuatan yang terus-menerus. Selain itu, Spencer menyebutkan adanya empat dalil dari kebenaran universal sebagaimana disebutkan di bawah ini:
  1. Kesatuan hukum dan kesinambungan antara kekuatan-kekuatan yang tidak pernah muncul dengan sia-sia dan abadi.
  2. Kekuatan ini tidak musnah akan tetapi ditransformasikan ke dalam bentuk persamaan yang lain.
  3. Segala sesuatu yang bergerak sepanjang garis setidak-tidaknya akan dirintangi oleh suatu kekuatan yang lain .
  4. Ada sesuatu irama dari gerakan atau gerakan alternatif.
Spencer lebih lanjut mengatakan, evolusi dalam bentuk yang sederhana hanyalah merupakan suatu gerak yang hilang dan redistribusi dari keadaan. Evolusi terjadi di mana-mana dalam bentuk inorganik seperti astronomi dan geologi, dan dalam kehidupan organik seperti biologi dan psikologi serta kehidupan superorganik seperti sosiologi. Sedang sistem evolusi umum yang pokok menurut Spencer (Siahaan, 1986:119-133) meliputi:
  1. Ketidakstabilan yang homogen. Setiap homogenitas akan semakin berubah dan membesar serta akan kehilangan homogenitasnya karena kejadian setiap insiden tidak sama besar;
  2. Berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam rasio geometris. Berkembangnya bentuk-bentuk yang sebenarnya hanya merupakan batas dari suatu keseimbangan saja, yaitu suatu keadaan seimbang yang berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lain;
  3. Kecenderungan terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk pengelompokan atau segregasi.
  4. Adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.
Giddings (1890) meringkas ajaran sistem sosial Spencer seperti di bawah ini (Haryanto, tt).
  1. Masyarakat adalah organisme atau mereka adalah superorganis yang hidup berpencar-pencar.
  2. Antara masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu keseimbangan tenaga, suatu kekuatan yang seimbang antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain, antara kelompok sosial satu dengan kelompok sosial yang lain.
  3. Keseimbangan antara masyarakat dengan masyarakat, antara masyarakat dan lingkungan mereka, berjuang satu sama lain demi eksistensi mereka di antara warga masyarakatnya. Akhirnya konflik menjadi suatu kegiatan masyarakat yang sudah lazim.
  4. Di dalam perjuangan ini kemudian timbulah rasa takut di dalam hidup bersama serta rasa takut untuk mati. Rasa takut mati adalah pangkal kontrol terhadap agama.
  5. Kebiasaan konflik kemudian diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dari agama menjadi militerisme. Militerisme pada umumnya membentuk sifat dan tingkah laku serta membentuk organisasi sosial dalam peperangan.
  6. Militerisme menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang kecil menjadi kelompok sosial yang lebih besar dan kelompok-kelompok tersebut memerlukan integrasi sosial. Proses semacam ini memperluas medan integrasi sosial yang biasanya terdapat pemupukan rasa perdamaian antar sesamanya serta rasa kegotongroyongan.
  7. Kebiasaan  berdamai dan rasa kegotongroyongan membentuk sifat, tingkah laku serta organisasi sosial yang suka pada hidup tenteram dan penuh dengan rasa setia kawan.
  8. Dalam tipe masyarakat yang penuh dengan perdamaian, kekuatannya akan berkurang namun rasa spontanitas serta inisiatif semakin bertambah. Organisasi sosial menjadi semacam bungkus, sedang anggota masyarakat dapat dengan leluasa pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka mengubah hubungan sosial mereka tanpa merusak kohesi sosial yang telah ada. Kesemuanya ini merupakan elemen di mana rasa simpati dan seluruh pengetahuan yang ada di dalam kelompok sosial merupakan kekuatan tersendiri bagi masyarakat primitif.
  9. Perubahan dari semangat militerisme menjadi semangat industrialisme. Semangat kerja keras tergantung pada luasnya tenaga antara kelompok masyarakat yang ada serta kelompok masyarakat tetangganya, antara ras dalam suatu masyarakat yang ada serta masyarakat yang lain, antara masyarakat pada umumnya serta lingkungan fisis yang ada. Akhirnya semangat kerja keras yang disertai dengan penuh rasa perdamaian tak dapat dicapai sampai keseimbangan bangsa-bangsa serta ras-ras yang ada tercapai lebih dahulu.
  10. Di dalam masyarakat, seperti pada kelompok masyarakat lain tertentu, luasnya perbedaan serta jumlah kompleksitas segenap proses evolusi tergantung pada nilai proses integrasi. Semakin lambat nilai integrasinya, semakin lengkap dan memuaskan jalan evolusi itu.     .
D.    Spencer tentang Teori Evolusi
Soekanto (1990:484-485) mendefinisikan evolusi sebagai serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan dan kumulatif yang terjadi dengan sendirinya dan memerlukan waktu lama. Evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang  terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Perubahan ini tidak harus sejalan dengan rentetan  peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Soekanto (1990:345-347), teori tentang evolusi dapat dikategorikan dalam  tiga kategori.
  1. Unilinear theories of evolution. Teori ini berpendapat bahwa manusia  dan masyarakat (termasuk kebudayaannya) mengalami perkembangan melalui tahapan tertentu, mulai dari bentuk sederhana menuju ke yang lebih kompleks (madya dan modern) dan akhirnya menjadi sempurna (industrial, sekuler). Pelopor teori ini antara lain adalah August Comte dan  Herbert Spencer. Variasi teori ini adalahCyclical theories yang dipelopori oleh Vilfredo Pareto dengan mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan mempunyai tahap-tahap perkembangan yang merupakan lingkaran yang pada tahap tertentu dapat dilalui berulang-ulang. Pendukung teori ini adalah Pitirim A. Sorokin yang mengemukakan teori dinamika sosial dan kebudayaan. Menurut Sorokin, masyarakat berkembang melalui tahap kepercayaan, tahap kedua dasarnya adalah indera manusia, dan tahap terakhir dasarnya adalah kebenaran.
  2. Universal theory of evolution. Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap perkembangan tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Spencer mengemukakan prinsip-prinsipnya yaitu antara lain mengatakan bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan sifat maupun  susunannya dari kelompok homogen ke kelompok yang heterogen.
  3. Multilined theories of evolution. Teori ini lebih menekankan pada penelitian-penelitian terhadap tahap-tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian tentang pengaruh sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian kekeluargaan dalam masyarakat.
Sementara itu, perspektif evolusioner adalah sudut pandang teoretis paling awal dalam sosiologi.  Hal tersebut berdasarkan pada karya August Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903). Keduanya menaruh perhatian pada perkembangan masyarakat secara evolusioner dari keseluruhan atau kesatuan yang utuh. Horton dan Hunt (1989:16-17) menjelaskan, perspektif evolusioner adalah perspektif yang aktif, sekali pun bukan merupakan perspektif utama dalam sosiologi.
Dalam bukunya, Positive Philosophy (1851-1854), Comte menulis tentang tiga tingkatan yang pasti dilalui pemikiran manusia yaitu: teologis, metafisik (atau filosofis), dan akhirnya positif (atau ilmiah). Comte berpendapat bahwa masyarakat mempunyai kedudukan yang dominan terhadap pribadi.
Sebaliknya, Spencer berpendapat bahwa pribadi mempunyai kedudukan dominan dalam struktur masyarakat. Dia menekankan bahwa pribadi merupakan dasar struktur sosial, meskipun masyarakat dapat dianalisis pada tingkat struktural. Struktur sosial suatu masyarakat dibangun untuk memungkinkan anggotanya memenuhi berbagai keperluan.  Oleh karena itu, banyak ahli memandang Spencer bersifat individualistis. Terkait ketertarikannya pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat modern, Spencer menilai  masyarakat bersifat organis. Pandangan ini yang kemudian menjadikan Spencer sering disebut sebagai seorang teoretis organik karena usahanya memperluas prinsip-prinsip evolusi pada ilmu biologi ke institusi sosial.
Lebih jauh Spencer mengungkapkan bahwa perubahan alamiah dalam diri manusia mempengaruhi struktur masyarakat. Kumpulan pribadi dalam masyarakat merupakan faktor penentu bagi terjadinya proses kemasyarakatan yang pada hakikatnya merupakan struktur sosial dalam menentukan kualifikasi. Bagi Spencer, masyarakat  merupakan material yang tunduk pada hukum universal evolusi. Masyarakat mempunyai hubungan fisik dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk tertentu dalam masyarakat, terutama dalam organisasinya. Masyarakat tersusun atas dasar hakikat manusia dan bentuknya sangat dipengaruhi oleh alam yang sulit dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukan oleh manusia sangat sulit ditentukan akibatnya (Haryanto, tt:24).
Diakui atau tidak, Spencer terpikat Darwinisme sosial populer setelah Charles Darwin menerbitkan buku Origin of Species (1859), sembilan tahun setelah Spencer memperkenalkan teori evolusi universalnya. Spencer memandang evolusi sosial sebagai serangkaian tingkatan yang harus dilalui semua masyarakat yang bergerak dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih rumit dan dari tingkat homogen ke tingkat heterogen. Horton dan Hunt (1989:59-61) menilai adanya suatu optimisme di masyarakat. Kemajuan masyarakat yang terus meningkat pesat pasti akan mengakhiri kesengsaraan dan meningkatkan kebahagiaan manusia.
Menurut Haryanto (tt:25), semua teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang dilalui semua masyarakat. Perubahan sosial ditentukan dari dalam (endogen) yang sering digambarkan dalam arti diferensiasi struktural, perubahan dalam arti dari yang paling sederhana menuju masyarakat yang lebih kompleks. Masyarakat sederhana tidak terpadu yang tidak pasti (indefinite, incoherent homogenity), memiliki karakteristik, tidak ada pembagian tugas atau peran yang rinci dan lebih banyak bersifat informal. Sedang masyarakat yang lebih kompleks (definite, coherent heterogenity) memiliki karakteristik terspesialisasi dan formal.
Evolusi terjadi pada tingkat organis dan pada tingkat anorganis. Pada tingkat organis, perubahan terjadi dari sel homogen sederhana menuju organisme terpadu yang lebih tinggi dan kompleks. Evolusi anorganis prosesnya adalah proses yang bermula dari bulatan gas yang tidak menentu, tidak terpadu dan homogen, kemudian menggumpal menjadi bintang, planet, matahari, bulan yang berbeda yang kemudian diintegrasikan menjadi satu keseluruhan dalam gerakan yang mengikuti hukum-hukum tertentu. Selain evolusi organis dan anorganis, ada evolusi yang disebut evolusi superorganis. Evolusi superorganis ini hanya terjadi pada masyarakat. Evolusi superorganis di kemudian hari lebih dikenal sebagai evolusi sosial dan evolusi produksi yang sekarang kita kenal sebagai evolusi kebudayaan.
Seperti halnya sel pada organisme yang mempunyai cara dan sifat masing-masing, Spencer menilai watak dan sifat manusia itulah yang membawa perbaikan bagi masyarakat. Watak yang baik mudah menjadi teladan mengalami kemajuan karena rintangan yang muncul dapat terkikis dengan sendirinya pada saat terjadi proses menyelaraskan diri dengan masyarakat dan kemajuan. Hal ini juga berarti perjuangan hidup (struggle for life) dapat diatasi sehingga terbentuk masyarakat terbaik. Perjuangan hidup dan survival of the fittest adalah suatu wujud tenaga evolusi dalam masyarakat. Hal ini membuat manusia dalam masyarakatnya selaras dengan kehidupan politik, industri, dan sebagainya di sekitarnya. Di sini Spencer melihat kehidupan dalam masyarakat selalu mendorong anggotanya bersikap menyesuaikan diri dengan panggilan hidup yang lebih maju.
Peraturan negara harus menjaga agar supaya rakyat dan masyarakat dapat hidup merdeka dan memperjuangkan hidupnya. Spencer tidak setuju dengan peraturan yang melindungi pihak yang lemah, yang tidak mampu menyesuaikan diri terhadap kemajuan masyarakat. Spencer berpendapat bahwa pihak yang lemah hendaknya binasa saja atau harus berusaha belajar keterampilan dan keuletan sehingga nantinya yang akan tinggal hanya mereka yang terkuat (the fittest).
Spencer berpendapat bahwa orang-orang cakap dan bergairah (enerjik) yang akan mampu memenangkan perjuangan hidup dan berhasil, sedang orang yang malas dan lemah akan tersisih dengan sendirinya dan kurang berhasil dalam hidup. Kelangsungan hidup keturunan manusia lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan tenaga hidupnya. Kekuatan hidupnyalah yang mampu mengatasi kesukaran ujian hidup, termasuk kemampuannya menyesuaikan diri (berevolusi) dengan lingkungan fisik dan sosial yang selalu berubah dari waktu ke waktu.
Spencer berpendapat, suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antara bagian-bagiannya. Hal ini berarti ada organisme yang mempunyai fungsi yang lebih matang di antara bagian-bagian lain dari organisme sehingga dapat berintegrasi dengan lebih sempurna. Secara evolusioner, tahap organisme tersebut akan semakin sempurna sifatnya. Dengan demikian organisme mempunyai kriteria yang dapat diterapkan pada setiap masyarakat yaitu kompleksitas, diferensiasi, dan integrasi. Evolusi sosial dan perkembangan sosial pada dasarnya adalah pertambahan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari keadaan homogen ke keadaan heterogen (Soekanto, 1990: 39-41).
Dalam bukunya Principles of Sociology, Spencer berpendapat bahwa pada masyarakat industri yang telah terjadi diferensiasi dengan mantap, akan ada  stabilitas yang menuju pada keadaan hidup yang damai. Seperti juga Comte, Spencer berpendapat bahwa tujuan hidup setiap manusia adalah menyesuaikan diri dengan panggilan hidup dalam masyarakat sekitarnya yang selalu berevolusi menuju perbaikan dan kemajuan.
Pusat perhatian Spencer juga tertuju pada gerak yang dipandang sebagai suatu tenaga yang menggerakkan proses pemisahan (diferensiasi, membedabedakan) dan proses mengikat (integrasi, persatuan). Tenaga ini membawa kesamaan dan perpecahan dan ketidakpastian dalam evolusi sehingga membentuk kelompok, golongan, ras, suku bangsa, bangsa, dan negara. Evolusi terus berlanjut, ada yang menuju kesempurnaan, tetapi ada juga yang sebaliknya. Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk perbaikan hidupnya.
Seperti telah disinggung di atas, pandangan-pandangan sosiologi Spencer sangat dipengaruhi pesatnya kemajuan ilmu biologi. Beberapa di antaranya adalah:
  1. Pelajaran tentang sifat keturunan (descension), Lamarck (1909) yang  menyatakan bahwa sifat manusia yang diturunkan kepada anak cucunya sangat dipengaruhi oleh tempat tinggal dan  sifat bangsa itu. Teori evolusi ini berdasarkan pendapat bahwa hewan yang bertulang punggung bisa menyempurnakan bentuk badannya berdasarkan kebutuhannya kepada keturunannya.
  2. Teori seleksi dari Darwin (1859) mengatakan bahwa alam akan membuang segala sesuatu yang tidak terpakai dan memperkuat segala sesuatu yang berguna, seperti yang terjadi pada binatang, yang kuat akan mampu bertahan hidup dan yang lemah akan binasa.
  3. Teori tentang penemuan sel. Tubuh hewan dan tumbuh-tumbuhan terdiri dari organisme kecil-kecil yang disebut sel. Sel ini mempunyai sifat dan bentuk yang sama, tetapi mampu mempengaruhi sifat binatang atau tumbuhan berdasarkan ciri yang terkuat pada sel tersebut.
Teori-teori Spencer sangat dipengaruhi oleh pelajaran tentang sifat keturunan Lamarck yang menyamakan masyarakat dengan suatu organisme, dengan sel-selnya, dan selanjutnya ia membandingkannya seperti itu. Pendapat tentang biologi mempengaruhi dunia filsafat, psikologi dan lain sebagainya sehingga terjalin pertalian yang erat antara ilmu pengetahuan itu dengan sosiologi.
Membandingkan masyarakat dengan organisme, Spencer mengelaborasi ide besarnya secara detail pada semua masyarakat sebelum dan sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada tiga kecenderungan perkembangan masyarakat dan organisme, yaitu: 1) Pertumbuhan dalam ukurannya;  2) Meningkatnya kompleksitas struktur; 3) Diferensiasi fungsi.
Spencer berkeyakinan bahwa kehidupan masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan yang semakin baik. Karena itu, kehidupan masyarakat harus dibiarkan berkembang sendiri, lepas dari campur tangan yang mungkin akan memperburuk keadaan. Spencer menerima pandangan bahwa institusi sosial sebagaimana tumbuh-tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi secara progresif dan positif terhadap lingkungan sosialnya. Ia juga menerima sudut pandang Darwinian bahwa proses seleksi alamiah, “survival of the fittest”, juga terjadi dalam kehidupan sosial (istilahsurvival of the fittest justru diciptakan oleh Spencer beberapa tahun sebelum karya Darwin mengenai seleksi alam muncul). Jika tidak diganggu intervensi dari luar, individu yang layak akan bertahan hidup dan berkembang, sedangkan individu yang tak layak akhirnya punah. Spencer memusatkan perhatian pada individu, sedangkan Comte menekankan pada unsur yang lebih besar seperti keluarga.
Ritzer dan Goodman (2007) merangkum teori evolusi Spencer ke dalam dua perspektif. Pertama, teorinya berkaitan dengan peningkatan ukuran (size)masyarakat. Peningkatan ini menyebabkan diferensiasi fungsi yang dilakukannya. Kedua, masyarakat berubah melalui penggabungan. Makin lama makin menyatukan kelompok-kelompok yang berdampingan. Dia berbicara tentang gerak evolusioner dari masyarakat yang sederhana ke penggabungan dua kali lipat dan penggabungan tiga kali lipat.
Di bagian lain, Spencer menawarkan teori evolusi dari masyarakat militan ke masyarakat industri. Pada mulanya, masyarakat militan dijelaskan sebagai masyarakat terstruktur guna melakukan perang, baik yang bersifat defensif maupun ofensif. Sejalan dengan tumbuhnya masyarakat industri, fungsi perang sebagai perubahan berakhir. Masyarakat industri didasarkan pada persahabatan, tidak egois, dan penghargaan terhadap prestasi.
Dalam  tulisannya mengenai etika dan politik, Spencer mengemukakan gagasan evolusi sosial yang lain. Di satu sisi ia memandang masyarakat berkembang menuju ke keadaan moral yang ideal atau sempurna. DI sisi lain ia menyatakan bahwa masyarakat yang paling mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannyalah yang akan bertahan hidup (survive), sedangkan masyarakat yang tak mampu menyesuaikan diri terpaksa menemui ajalnya. Hasil proses ini adalah peningkatan kemampuan menyesuaikan diri masyarakat secara keseluruhan.
Jadi, Spencer mengemukakan seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Mula-mula gagasannya menikmati sukses besar, tetapi kemudian ditolak selama beberapa tahun, dan baru belakangan ini hidup kembali dengan munculnya teori sosiologi neoevolusi.(*)
Rujukan
Haryanto. (tt). Herbert Spencer (Modul Pembelajaran Universitas Terbuka). Jakarta: Universitas Terbuka.
Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L.1989. Sosiologi, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2007. Teori Sosiologi Modern (Edisi VI). Jakarta: Kencana.
Siahaan, Hotman M. (1986). Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Spencer, Herbert. 1897. The Principles of Sociology Vol. 1 (Edisi III). New Yrok: A. Appleton and Company.
Sukanto, Soerjono. (1982). Teori Sosiologi tentang Pribadi dan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
———–. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Mengenal Pemikiran Herbert Spencer (URL http://ipahipeh.blog.fisip.uns.ac.id/2011/06/04/mengenal-pemikiran-herbert-spencer/) diakses pada Rabu, 19 Oktober 2011.
*Sebelum diunggah, artikel ini merupakan salah tugas mata kuliah Teori Ilmu-ilmu Sosial pada Program Magister Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran.